Perlawanan Rakyat Kalimantan terhadap Belanda dalam Perang Banjar

  1. Pendahuluan

Perang Banjar, perang ini terjadi di wilayah Kalimantan Selatan, Kerajaan Banjar.

Perang ini berlangsung hampir setengah abad lamanya. Jika, dilihat coraknya, perlawanan dapat dibedakan antara perlawanan ofensif yang berlangsung dalam waktu relative pendek (1859-1863), dan perlawanan defensive yang mengisi seluruh perjuangan selanjutnya (1863-1905).

Perlawanan ini meletas pada tahun 1859 karena rakyat di Banjar tidak senang dengan pengangkatan Pangeran Tamjidillah karena persoalan pajak dan kerja wajib semakin berat. Karena, pajak dapat menyebabkan menyempitnya daerah kekuasaan.

Penyempitan daerah Banjar, berpangkal pada adanya hasil tertentu di daerah Kesultanan yang dapat diperdagangkan. Hasil tersebut adalah lada, rotan, damar, emas, dan intan. Hasil-hasil ini yang mengundang bangsa Belanda dan Inggris dating ketempat ini. Pada abad ke-17 bangsa Belanda datang untuk berdagang, akan tetapi bangsa Belanda diusir karena dapat merugikan pedagang banjar, dan begitupun bangsa Inggris.

Bangsa Inggris meninggalkan banjar pada dasawarsa ketiga abad ke-18. Pada abad ke-18 bangsa Belanda datang kembali dan berhasil mendekati Sutan Tahlilillah. Pada tahun 1734, diadakan suatu perjanjian dimana pedagang-pedagang Belanda diberikan fisilitas perdagangan.

Pada awalnya bangsa Belanda masih mematuhi aturan-aturan yang ada dikesultan, namun setelah setengah abad Belanda  memiliki kesempatan untuk berkembang, karena adanya pertentangan di kalangan para bangsawan mengenai kedudukan Sultan, yaitu antara Pangeran Nata dan Pangeran Amir. Untuk dapat mempertahankan kedudukannya, Pangeran Nata meminta bantuan kepada Belanda.

Kesempatan ini di manfaatkan dengan baik oleh Belanda. Dengan bantuan dari Belanda, akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap, kemudian dibuang ke Ceylon. Akan tetapi Pangeran Nata, sebagaimana disebutkan dalam perjanjian 13 Agustus 1787, harus menyerahkan sebagian wilayah kesultanan kepada Belanda seperti daerah Tanah Bumbu, Pegatan, Kutai, Bulongan, dan Kotawaringin. Sedangkan wilayah lainnya tetap dikuasai oleh Sultan namun sebagai pinjaman saja.

Berkenaan diperintahnya bekas daerah-daerah kuasaan Belanda oleh Inggris (1811-1816) maka daerah itu di kuasai oleh Inggris. Akan tetapi setelah inggris meninggalkan Banjarmasin tahun 1816, Sultan Sulaiman (1808-1825) megadakan perjanjian baru dengan Belanda pada tanggal 1 Januari 1817, yang isinya menyebutkan penyerahan daerah-daerah kesultan kepada Belanda. Daerah-daerah itu adalah Dayak, Sintang, Bakumpai, Tanah Laut, Mendawai, Kotawaringun, Lawai, Jelai, Pegatan, Pulau Laut, Pasir Kutai, dan Berau.

Semakin banyak kericuhan dan pertentangan yang dilakukan oleh bangsawan, maka semakin banyak perjanjian-perjaanjian baru yang muncul, hal ini meyebabkan daerah kekuasaan Belanda menjadi semakin luas.

Perjanjian yang dilakuakan antara Sultan Adam Alwakish Billah (1825-1857) dengan Belanda pada tanggal 4 Mei 1826 memberi kesempatan kepada Belanda untuk memperoleh daerah yang lebih luas lagi dan pemberian kekuasaan kepada Belanda untuk menentukan personalia dalam pengangkatan pejabat kesultanan.

Pada tahun 1845, Weddik diangkat sebagai Gubernur Banjarmasin oleh Belanda  guna menguatkan kedudukan Belanda di Banjarmasir agar tidak tegeser oleh Inggris. Lalu, Gubernur Weddik mengadakan perjanjian dengan Sultan untuk memperbaharui perjanjian 1826. Dalam perjanjian ini berisi ditetapkannya batas-batas kesultanan yang baru dan Belanda juga mendapatkan izin untuk mengerjakan tambang batu arang di distrik Riam.

Dilain pihak, campur tangan Belanda dalam urusan intern kesultanan, yaitu dalam pengangkatan penjabat-penjabat penting, termasuk jabartan Sultan, membuat kegelisahan social ini semakin besar. Dalam hal ini juga bukan hanya saja rakyat tetapi beberapa dari kalangan penguasa juga.

Rasa tidak senang dalam hal ini dimulai tahu  1851, yaitu ketika Mangkubumi meninggal dunia. Timbul perbedaan pendapat mengenai penggatinya. Sultan Adam menginginkan Prabu Anom (putranya yang ke-4), sedangkan Belanda tidak menyetujuinya dan kemudian yang diangkat adalah Pangeran Tamjidillah (putra dari kakak Prabu Anum). Sultan Adam tidak setuju Pangeran Tamjidillah karena beliau keturunan wanita bukan bangsawan dan sangat menghina agama islam.

Lepas dari masalah diatas, timbul masalah baru yaitu sehubung meninggalnya Sultan Muda Abdurrakman pada tahun 1852. Sultan Adam menghendaki pengangkatan Pangeran Hidayat sebagai Sultan Muda. Pengangkatan ini didasarkan dari perjanjian Sultan Adam dengan Pangeran Abdurrakman. Namun keinginan Sultan Adam tidak disetujui oleh Belanda karena, Belanda menilai bahwa Pangeran Hidayat tidak cakap, tidak pernah bergaul dengan Belanda, dan tidak pernah menolong Belanda dalam perdagangan. Belanda memaksa Sultan Adam untuk mencabut usulannya baik usulan Pangeran Hidayat maupun usulan Prabu Anum.

Dalam bulan Mei 1853 Sultan Adam mengirimkan utusan ke Jakarta untuk meminta agar Pangeran Tamjidillah yang sudah diangkat sebagai Mangkubumi dipecat dan Pangeran Hidayat diangkat sebagai Raja Muda dan Prabu Anom sebagai Mangkubumi. Namun, usaha ini tidak dikabulkan oleh Belanda.

Pada tahun 1855 secara diam-diam Sultan Adam melantik Prabu Anum sebagai Raja Muda dan membuat Surat Wasiat, yang boleh dibuka saat ia sudah meninggal. Surat wasiat ini menetapkan Pangeran Hidayat sebagai penggantinya saat ia sudah meninggal. Prabu Anom dan Pangeran Tamjidillah, akan diancam hukuman mati jika menghalang-halangi maksudnya. Dan ia akan memecat Pangeran Tamjidillah sebagai Mangkubumi.

Akan tetapi, pada bulan Mei 1856 datang surat Pangeran Tamjidillah diangkat Belanda sebagai Raja Muda dan Belanda memaksa Sultan Adam mengakui pengangkatan tersebut dan selanjutnya akan diangkat Mangkubumi yang baru. Pada bulan ini juga Sultan Adam mengajukan usul agar Pangeran Hidayat diangkat menjadi Mangkubumi sebagaiman juga dibutuhkan Belanda. Hal ini disetujui, dan pada bulan Agustus 1856 Pangeran Hidayat dilantik. Diajukannya Pangeran Hidayat memiliki siasat dari Sultan Adam guna mendinginkan hati rakyat yang menilai bahwa Prabu Anum dijadikan tawanan.

Tanggal 1 November 1857 Sultan Adam meninggal dunia. Dua hari kemudian Pangeran Tamjidillah dilantik menjadi Sultan. Pelantika Pangeran Tamjidillah menimbulkan kekecewaan dikalangan bangsawan dan dikalangan rakyat. Kekecewaan ini disebabkan oleh perilaku Pangeran Tamjidillah yang suka mabuk. Sedangkan Pangeran Hidayat adalah seorang yang sebenarnya berhak atas tahta, karena sebelum ia lahir telah dijanjikan oleh Sultan Sulaiman dan Sultan Adam untuk naik tahta dan Pangeran Hidayat mempunyai sifat yang baik, rendah hati, ramah-tamah dan terakhir, adanya surat wasiat yang dibuat oleh Sultan Adam bahwa dialah yang akan menggantikannya.

Kedudukan Pangeran Hidayat sejak diangkat menjadi Mangkubumi menjadi sulit, karena pendiriannya selalu bertentangan dengan Pangeran Tamjidillah. Pangeran Prabu Anom yang waktu itu dicurigai oleh Belanda dapat ditangkap Belanda dengan menggunakan pengaruh Pangeran Hidayat sebai Mangkubumi. Namun pembuangan Prabu Anom menimbulkan kekecewaan Pangeran Hidayat, karena menurut kesanggupan Residen BElanda banhwa Prabu Anom hanya akan ditahan di Banjarmasin.

Kekacauan ini dijadikan Belanda untuk mencapuru urusan dalam Kerajaan Banjarmasin. Datanglah Kolonel Andresen, utusan pemerintah Belanda di Batavia. Di Banjarmasin untuk meyelidiki dari dekat sebab-sebab kericuhan. Andresen kemudian berksesimpulan bahwa Pangeran tamjidillah yang tidak disenangi oleh rakyat. Sultan Tamjidillah kemudian diturunkan dari tahta dan kekuasaan Kerajaan Banjar,asin diambil alih oleh Belanda.

 

  1. Jalannya Perang

Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar didaerah-daerah dipimpin oleh Pangeran Antarsari yang berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan menyerbu pos-pos Belanda pada tanggal 28 April 1859. Pada saat yang sama Kyai Demang Loman dengan pasukannya telah bergerak di sekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng.

Pada tanggal 27 September 1859 pertempuran terjadi juga di Benteng gunung Lawak yang dipertahankan oleh Kyai Demang Leman. Karena kalah jumlah maka pasukan Kyai Demang Leman pun mengundurkan diri, tetepi rakyat masih aktif melakukan perang gerilya.

Sementara itu Tumenggung Surapati menyanggupi Belanda untuk menangkap pangeran Antasari, dan pada Desember 1859, ia dan anak buahnya berbalik menyerang belanda dan menenggelamkan kapalnya. Tapi setelah itu Tumenggung Surapati mendapat serangan dari Belanda. Tumenggung Jalil pun mendapat serangan dari Belanda dengan bantuan adipati Danureja, yang sejak mula setia pada Belanda.

Melalui surat yang dibuat pada tanggal 7 Maret 1860 yang berisi permintaan supaya ia menyerah dalam waktu 12 hari, pangeran Hidayat tidak akan menyerah dan ini dianggap sebagai pemberontakan terhadap Belanda. Karena kosongnya posisi sultan maka  kerajaan dihapus oleh pemerintahan Hindia Belanda. Muncul perlawanan di beberapa Daerah sehingga menyebabkan pemerintah Hindia Belanda menghadapi kesulitan.

Pada tanggal 16 Juni 1860 Pangeran Hidayat bertempur selama seminggu di Ambarawang, kemudian terpaksa mundur karena persenjataan Belanda lebih kuat. Pada10 Juli pasukan Hidayat pindah karena mendapat pukulan dari Belanda. Sementara pasukan pangeran Antasari masih giat melakukan serangan terhadap pos pos Belanda.

Menyerahnya Kyai Demang Leman atas kemauannya sendiri pada Belanda tanggal 2 Oktober 1861 sedikit banyak memperlemah para pejuang. Pangeran Hidayat ditangkap dan diasingkan ke Jawa pada tanggal 3 Februari 1862. Sementara itu, pangeran Antasari makin giat melakukan perlawanan conntohnya dalam mempertahankan benteng di Gunung Tongka pada 8 November 1861. Pada 14 Maret 1862 rakyat mengangkat pangeran antasari sebagai pemimpin tertinggi. Ia meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 di Hulu Teweh.

Kyai Demang Leman terus mengadakan perlawanan secara Gerilya di sekitar Martapura. Pada akhirnya Kyai Demang Leman dapat ditangkap pada 17 Februari 1864 dan dibawa ke Martapura dan dijatuhi hukuman gantung

  1. Akhir Perang

Putra-putra Pangeran Antasari, antara lain M. Seman tetap melanjutkan perjuangan ayahnya. H. Buyasin yang banyak berjasa dalam kerja sama dengan Pangeran Antasari, dan kiyayi Demang Leman akhirnya mengalami nasib yang malang juga. Pada 26 Januari 1866, ia ditembak oleh Pembakal buang yang menjadi alat pemerintah Hindia Belanda.

Sebagai penerus perlawanan, Gutsi Matsaid, Natawidjaya, Tumenggung Surapati, Tumenggung Naro dan Penghulu Rasyid. Namun, Perlawanan rakyat yang timbul di berbagai daerah itu pun tidak sekuat perlawanan pada masa Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati mencoba menyerang benteng di Muara Teweh pada akhir tahun 1865, tetapi karena kekuatan pertahanan Belanda cukup besar, Maka usahanya tidak Berhasil. Lalu Pasukan Surapati di Benteng Kawatan pun menderita kekalahan sehingga mengundurkan diri.

Lalu, pada akhir Desember 1870 datang pasukan Belanda, dan Benteng Demang Wangkang di Durrahman didekati Pasukan Pemerintah Hindia Belanda. Terjadilah pertempuran dan Demang Wangkang menemui ajalnya.

Pada suatu ketika benteng diserang pasukan belanda, Pasukan Gusti Matseman terdesak sehingga terpaksa meloloskan diri dan benteng jatuh ke tangan Belanda. Perlawanan Gutsi Matseman dan rekan seperjuangannya berhenti setelah Gutsi Matseman gugur pada 1905. Dan Perlawanan rakyat Banjar pun lumpuh dan akhirnya padam tak  ada lagi pertempuran.

 

Daftar Pustaka

Poesponegoro, Marwati Djoened, 1993, SEJARAH NASIONAL INDONESIA IV, Jakarta:Balai Pustaka

Leave a comment