Semangat Juang Rakyat Jawa Melawan Belanda Dalam Perang Diponegoro

  1. Pendahuluan

Perang melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berlangsung diantara tahun 1825 sampai dengan 1830, disebut juga perang Dionegoro, atau perang Jawa, dilatar belakangi oleh meletusnya kemarahan ratyat di hampair seluruh daerah Jawa. Perjuangan ini ditujukan pada kekuatan  asing, yaitu penguasa Hindia Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan Yogyakarta. Yang menjadi pemimpin peperangan adalah putra Sultan Hamengku Buwono III dari selirnya yang bernama Pangeran Diponegoro.

  1. Latar Belakang

Munculnya Yogyakarta hasil  perjanjian Gianti (1755) antara raja Mataram dengan raja VOC. Hubungan yang berlangsung antara kekuasaan kerajaan Mataram di Jawa Tengah dengan kekuasaan VOC. Sejak abad ke 17 sampai menjelang perang Ponegoro membawa akibat makin merosotnya kekuasaan Bumi Putra tersebut. Daerah daerah pantai dianeksasi oleh Belanda seperti Kerawang, Semarang, Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan, dan Madura. Oleh karenanya pusat Negara dipisahkan dari pantai kerajaan Mataram kebali ke dalam kegiatan agraris dan mulai melepaskan tradisi perdagangan-perlayaran. Kekuasaan raja yang kuat, sejak masa pemerintahan penggantinya terus menerus berkurang, sebaliknya wilayah kekuasaan kompeni Belanda seakin luas. Masalah-masalah penting dalam Negara seperti  penggantian tahta, pengangkatan pejabat tinggi Negara, tidak lepas dari pengawasan Belanda.  Dan Belanda diizinkan mendirikan benteng di dekat istana. Pengawasan Belanda atas istana tidak hanya dipermudah dengan adanya benteng tersebut, tetapi juga ditempatkannya serdadu-serdadu kompeni di dalam komplek istana. Oleh raja serdadu-serdadu tersebut dipandang sebagai kekuatan yang melindunginya.

Makin sempitnya wilayah Mataram dan berkurangnya kekuasaan raja membawa akibat makin sempitnya orientasi politik penguasa kerajaan makin diarahkan kedalam. Kelemahan bidang politik kemudian ditimbangi dengan kegiatan di bidang budaya, terutama dalam sastra, dengan tujuan untuk mempertegas jarak antara yang berkuasa dan rakyat umum.

Pada permulaan abad ke-19 pengaruh Benlanda pada kerajaan Surakarta dan Yogyakarta bertambah kuat. Di Yogyakarta, Dandels menuntut persamaan derajat dengan Sultan dalam upacara kunjungan resmi, seperti penghapusan menyajikan sirih oleh Sultan dan memperbolehkan Petinggi Belanda duduk sejajar dengan Raja.

Sebelum perang Diponegoro pecah terjadi kekalutan di istana pada masa pemeritahan Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh). Beliau adalah nenek Pangeran Diponegoro. Banyak pegawai yang dipecat olehnya sehingga mereka meminta perlindungan pada ayah Pangeran Diponegoro. Dan Kanjeng Ratu Ajeng (Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I) meninggalkan istana bersama Pangeran Diponegoro menuju Tegalrejo. Dan pada pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III semakin mundur. Sultan Sepuh yang sudah turun tahta pun masih diperbolehkan untuk tinggal di istana. Dan akibatnya adalah adanya 2 kubu di istana, pendukung sultan sepuh dan pendukung sultan Raja. Diluar kehidupan istana pun terjadi banyak konflik, yang utama adalah kerajaan mengizinkan penyewaan tanah dan perkebunan swasta asing. Dan para rakyat hanya bergantung pada penghasilan yang didapat dari sewa tanah.

Kecintaan dan Kesetiaan rakyat Tegalrejo terhadap Diponegoro terlihat terutama saat pembuatan jalan melalui tanah makam leluhur Diponegoro.  Pemasangan tonggak jalan tersebut terjadi pada 20 Juli 1825. Para petani yang menyaksikan kejadian itu selalu berdiri dibelakang Pangeran Diponegoro. Tanda bahwa perang telah dimulai adalah bunyi meriam. Pada 20 Juli 1825 ±pukul 5 sore terdengar bunyi meriam yang mengejutkan rakyat Tegalrejo.

  1. Awal Mula Perang

Rakyat Tegalrejo membawa peralatan senjata yang ada, sedangkan pangeran Diponegoro dan Pangeran  Mangkubumi tetap duduk di Pendopo dan saling berdebat, dan Pangeran Diponegoro tetap bersikukuh untuk tidak meninggalkan Tegalrejo, dan dia berkata ‘apabila telah dikehendaki-Nya akan mati, beliau lebih senang mati diatas tanah pusaka neneknya. Namun akhirnya, pangeran Diponegoro setuju dan mereka pun meloloskan diri, Pangeran Diponegoro menaiki kuda kesayangannya ‘Gentayu’. Dan meloloskan diri ke Selarong. Semua harta benda, padepokan, dan Masjid peninggalan Kanjeng Ratu Ajeng pun terbakar.

Kejadian yang terjadi di daerah Selarong diantaranya :

  • Pangeran Adinegoro membawa 200 prajurit ke Selarong
  • Pangeran Diponegoro diangkat sebagai patih
  • Pangeran Suryenglogo ditugaskan melakukan perlawanan terhadap Belanda di sekitar Yogyakarta.
  • Pangeran Ontowiryo dan Danukusumo ditugaskan melakukan perlawanan di daerah Bagelen.
  • Pangeran Adiwinoto dan Mangundipuro ditugaskan melakukan perlawanan di daerah Kedu, dll
  1. Jalannya Perang

Berita insiden di Tegalrejo terdengar sampai di Pusat kekuasaan Belanda di Batavia. Lalu, terjadi peristiwa masuknya ulama dari desam Mojo ke dalam pasukan Diponegoro. Semboyan Perang Sabil pun disiarkan. Propaganda perang melawan Kafir pun dilakukan.

Peperangan pun mulai meningkat, pada permulaan perang, pasukan Diponegoro berhasil merebut beberapa daerah, seperti Pacitan dan Purwodadi. Kekuatan militer Belanda pun saat perang tersebut belum begitu besar. Daerah pertempuran pun semakin meluas. Misalnya di daerah Kedu terjadi pertempuran di desa Dinoyo. Perlawanan ini cukuo besar karena jumlah lawannya sekitar 2000 orang. Pasukan Pangeran Diponegoro pun meminta bantuan ke Selarong dan dikirimlah pasukan Prajurit Bulkiya. Bulkiya adalah nama salah satu kesatuan prajurit Diponegoro yang terkenal berani. Pasukan ini dipimpin oleh pasukan Haji Usman Alibasyah dan Haji Abdulkadir.

Di Selarong, Pangeran Diponegoro menerima surat dari Jenderal de Kock yang berisi tentang tujuan berlawanan. Disamping itu, de Kock berjanji akan memberi jaminan keamanan pada pengikut Diponegoro dan Mangkubumi apabila beliau bersedia menghentika peperangan dan mengdakan perundingan perdamaian.

Pada pertempuran di Semarang pada 11 September 1825 Pangeran Serang berhadapan dengan Belanda. Jendral de Cock mengerahkan seluruh pasukan Belanda. Namun Semarang akhirnya jatuh dan Pangeran Serang meloloskan diri ke daerah Sukowati.

Dalam pertempuran tanggal 9 Desember 1825, Madiun jatuh ke tangan Belanda. Dan Akhirnya, Pangeran Serang bersama Pangeran Sukur mundur ke Yogyakarta untuk menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro.

Lalu, Belanda tiba-tiba melakukan serangan umum ke Selarong dan ternyata pasukan Diponegoro telah memindahkan markas dari Selarong ke Dekso.

  1. Akhir Perang

Dalam pandangan Belanda, Sentot merupakan musuh yang berbahaya, sehingga Belanda mencari cara untuk mendekatinya sehingga membuat ia menyerah. Jendral de Kock mengirimkan surat pada tanggal 12 Februari 1829 kepada Sentot yang berisi upaya menghentikan perlawanan, tetapi Sentot menolaknya.

Kemudian pada tanggal 28 Juni 1829, Residen van Nes juga mengirim surat kepada Mangkubumi berisi saran agar Pangeran tersebut bersedia menghentikan perang, tetapi ditolak juga.

Pada tanggal 23 Juli 1829 Mangkubumi merasa bimbang karena seorang istri dan 3 anaknya menyerah pada Belanda.

Usaha Belanda membuahkan hasil pada tanggal 27 September 1829 saat Notodiningrat berhasil menemukan ayahnya (Mangkubumi) di desa Monopeti dan ia berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah pada Residen van Nes.

Untuk mendekati Sentot lagi, Belanda menggunakan Pangeran Ario Prawirodiningrat (Bupati Madiun) yang masih kerabat Sentot. Pada tanggal 17 Oktober 1829 pendekatan yang dilakukan oleh Belanda berhasil dalam perundingan di Imogiri, dengan persetujuan syarat yang diajukan oleh Sentot, yaitu : Sentot diperbolehkan tetap memeluk agamanya (Islam), Pasukannya tidak dibubarkan, dan dia tetap menjadi pemimpinnya, ia dan seluruh anggota diperbolehkan menggunakan sorban.

Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan Pasukannya memasuki ibukota Negara Yogyakarta untuk menyelamatkan diri.

Pada tanggal 16 Februari 1830 diadakan pertemuan antara Kolonel Cleerens dengan Diponegoro di Desa Romo Kalam. Dan Cleerens berjanji bahwa Diponegoro akan mendapatkan perlakuan jujur, dan apabila perundingan gagal ia dapat kembali ke medan perang.

Pada tanggal 25 Maret 1930 Jendral De Kock menginstruksikan kepada Cleerens untuk menangkap Diponegoro apabila perundingan gagal. Perundingan pada tanggal 28 Maret 1930 ternyata berakhir dengan kegagalan. Di rumah Residen Kedu itulah Diponegoro ditangkap. Dengan ditangkapnya Diponegoro yang merupakan pimpinan tertinggi, membuat perlawanan semakin menurun dan akhirnya berakhir.

Pada tanggal 30 April 1830, Diponegoro diasingkan ke Menado. Karena penjagaan di Menado dianggap kurang kuat maka pada tahun 1834 Diponegoro dipindahkan ke tempat pembuangan di Ujungpandang. Lalu ia wafat pada tanggal 8 Januari 1855 ditempat terakhir ia diasingkan.

 

Daftar Pustaka

Poesponegoro, Marwati Djoened, 1993, SEJARAH NASIONAL INDONESIA IV, Jakarta:Balai Pustaka

HM Nasruddin Anshory CH,  , BANGSA INLANDER, Jakarta:LKIS

 

Leave a comment